ONTOLOGI,
EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
A.
Ontologi Filsafat Pendidikan
1.
Hakikat Ontologi
Ontologi terdiri dari
dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu
yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai
ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada.[1]
Dalam konsep filsafat
ilmu Islam, segala sesuatu yang ada ini meliputi yang nampak dan yang tidak
nampak (metafisis). Filsafat pendidikan Islam bertitik tolak pada konsep
the creature of God, yaitu manusia dan alam. Sebagai pencipta, maka
Tuhan telah mengatur di alam ciptaan-Nya. Pendi dikan telah berpijak dari human
sebagai dasar perkembangan dalam pendidikan. Ini berarti bahwa seluruh
proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah transformasi pendidikan.[2]
Menurut Syam (1988) ontologi kadang-kadang disamakan
dengan metafisika. Sebelum menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti
hakikat sesuatu. Dalam berinteraksi dengan alam semesta, manusia melahirkan
berbagai pertanyaan filosofis, di antaranya ; apakah sesungguhnya
hakikat realita yang ada ini, apakah realita yang nampak ini suatu realitas
materi saja, ataukah ada sesuatu dibalik realita itu, satu "rahasia"
alam. Apakah wujud semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah
hakikat semesta ini adalah perubahan semata-mata. Apakah realita ini terbentuk
satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme), ataukah lebih dari dua unsur
(pluralisme).
Suatu realita sebagai suatu perwujudan,
menampakkan diri sebagai satu "tubuh", satu eksistensi. Sesuatu itu
mendukung satu perwujudan, yakni-keseluruhan sifatnya. Yang utama dari
perwujudan itu adalah eksistensinya. Wujud atau adanya sesuatu itu adalah
primer, sedangkan sifat-sifat yang lain seperti ukurannya, bentuknya, warnanya,
beratnya dan sebagainya hanyalah sekunder.
Sebagai contoh, apakah sesungguhnya hakikat
lantai dalam ruang belajar. Ada yang menjawab bahwa lantai itu bersifat datar,
padat tetapi halus dengan warna tertentu. Apakah bahannya, pastilah lantai itu
suatu substansi dengan kualitas materi. Inilah yang dimaksud bahwa lantai
adalah suatu realitas yang kongkrit. Para ahli ilmu alam menjawab, bahwa lantai
itu terbentuk dari molekul-molekul, yang terakhir atom-atom dan atom-atom
tersebut terbentuk dari electron-elektron, proton-proton dan neutron-neutron
dan semua itu tenaga listrik. Jadi lantai itu hakikatnya satu energi, tenaga
listrik. Jadi hakikat lantai menurut orang biasa adalah realita dalam wujud
lantai yang konkrit, sementara ahli ilmu alam memandang hakikat lantai dari
sudut pengertiannya (abstrak) yaitu tenaga listrik, energy, namun keduanya
bersifat realita.
Pandangan ontologi di atas juga menjadi hal
utama dalam pendidikan Islam, sebab anak didik/peserta didik bergaul dengan
dunia lingkungannya dan mempunyai dorongan kuat untuk mengerti sesuatu. Peserta
didik Islam, baik di masyarakat maupun di sekolah selalu menghadapi realita,
obyek pengalaman : benda mati, benda hidup. Bagaimana pandangan relegius
mengenai makhluk hidup yang berakhir dengan kematian, bagaimana kehidupan dan
kematian itu dapat dimengerti. Begitu pula realitas semesta, eksistensi
manusia yang memiliki jasmani dan rohani, bahkan bagaimana sebenarnya eksistensi
Tuhan Maha Pencipta[3]
Bukanlan kewajiban sekolah atau pendidik
semata untuk membimbing peserta didik memahami dunia nyata, tetapi
sekolah berkewajiban membina peserta didik tentang kebenaran yang
berpangkal pada realita itu. Realita adalah sebagai tahapan pertama dan
stimulus untuk menyelami kebenaran. Peserta didik didik wajib dibina potensi
berpikir kritisnya guna mengerti kebenaran. Mereka harus mampu mengerti
perubahan-perubahan dalam lingkungannya; adat-istiadat, tata sosial dan
pola-pola masyarakat, nilai moral dan hukum.
2.
Bidang Kajian Ontologi
Yang menjadi dasar
kajian atau dalam istilah lain sebagai objek kajian (ontologi) filsafat
pendidikan Islam seperti yang termuat di dalam wahyu adalah mengenai pencipta (khalik),
ciptaan-Nya (makhluk), hubungan antar ciptaan-Nya, dan utusan yang
menyampaikan risalah pencipta (rasul). Dalam hal ini al-Syaibany
mengemukakan bahwa prinsip-prinsip yang menjadi dasar pandangan tentang alam
raya meliputi dasar pemikiran:
1.
Pendidikan dan
tingkah laku manusia serta akhlaknya selain dipengaruhi oleh lingkungan sosial
dipengaruhi pula oleh lingkungan fisik (benda-benda
alam).
1.
Lingkungan dan
yang termasuk dalam alam raya adalah segala yang diciptakan oleh Allah swt baik
makhluk hidup maupun benda-benda alam.
2.
Setiap wujud
(keberadaan) memiliki dua aspek, yaitu materi dan roh.
Dasar pemikiran ini mengarahkan falsafah pendidikan
Islam menyusun konsep alam nyata dan alam ghaib, alam materi dan alam ruh, alam
dunia dan alam akhirat
3.
Alam senantiasa
mengalami perubahan menurut ketentuan aturan pencipta.
Dengan demikian, implikasi pandangan ontologi dalam
dunia pendidikan Islam adalah bahwa dunia pengalaman manusia, termasuk peserta
didik yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya dalam raga dan isinya
dalam arti pengalaman sehari-hari, melainkan sebagai sesuatu yang tak terbatas,
realitas fisik, spritual yang tetap dan yang berubah-ubah (dinamis).
B.
Epistemologi Filsafat Pendidikan Islam
1.
Hakikat Pengetahuan
Epistemologi
berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang
berarti ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan
dan cara memperolehnya. Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yakni
cabang filsafat yang membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat
pengetahuan dan sumber pengetahuan.
Dengan
kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau
membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan
keilmuan.[5]
2.
Teori-teori Ilmu Pengetahuan
3.
Pendekatan dan Metode Memperoleh Ilmu
Pengetahuan
Adapun tata cara,
teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan adalah dengan metode non-
ilmiah, metode ilmiah, dan metode problem solving.
a.
Pengetahuan yang
diperoleh dengan metode non- ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan
cara penemuan secara kebetulan; untung-untungan (trial and error); akal
sehat (common sense); prasangka; otoritas (kewibawaan); dan pengalaman
biasa.
b.
Metode ilmiah
adalah cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan deduktif dan induktif.
c.
Sedangkan metode
problem solving adalah memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi
permasalahan, merumuskan hipotesis; mengumpulkan data; mengorganisasikan dan menganalisis
data; menyimpulkan dan conclusion; melakukan verifikasi, yakni pengujian
hipotesis. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan teoriteori, prinsip-prinsip,
generalisasi dan hukum-hukum. Temuan itu dapat dipakai sebagai basis, bingkai
atau kerangka pemikiran untuk menerangkan, mendeskripsikan, mengontrol,
mengantisipasi atau meramalkan sesuatu kejadian secara tepat.[6]
Metode epistemologi pendidikan Islam
Metode merupakan
bagian integral dari epistemologi, karena epistemologi mencakup banyak
pembahasan termasuk metode. Metode epistemologi pendidikan Islam adalah sebagai
metode-metode yang dipakai dalam menggali, menyusun dan mengembangkan
pendidikan Islam. Dengan kata lain, adalah metode-metode yang dipakai dalam
membangun ilmu pendidikan Islam.
Metode epistemologi
pendidikan Islam adalah metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan
tentang pendidikan Islam. Ada perbedaan antara metode epistemologi pendidikan
Islam dengan metode penelitian pendidikan Islam. Metode epistemologi Islam
lebih berada pada tataran pemikiran filosofis, sedangkan metode penelitian
pendidikan Islam berada pada tataran teknis dan operasional. Metode
epistemologi pendidikan Islam merupakan alat filsafat yang membahas pengetahuan
pendidikan Islam. Metode epistemologi pendidikan Islam berusaha membangun,
merumuskan dan memproses pengetahuan tentang pendidikan Islam. Menurut Mujamil
Qomar dari perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran, Hadits Nabi dan
penalaran sendiri, untuk sementara didapatkan lima macam metode yang secara
efektif untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu:
a.
Metode Rasional
(Manhaj ‘Aqli)
Metode Rasional
adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan dengan menggunakan
pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran yang bisa diterima
rasio. Menurut metode ini sesuatu dianggap benar apabila bisa diterima oleh
akal, seperti sepuluh lebih banyak dari lima. Tidak ada orang yang mampu
menolak kebenaran ini berdasarkan penggunaan akal sehatnya, karena secara
rasional sepuluh lebih banyak dari lima.
Metode ini dipakai
dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam, terutama yang bersifat apriori.
Akal memberi penjelasan-penjelasan yang logis terhadap suatu masalah, sedangkan
indera membuktikan penjelasan-penjelasan itu. Penggunaan akal untuk mencapai
pengetahuan termasuk pengetahuan pendidikan Islam mendapat pembenaran agama
Islam. Machfudz Ibawi berani menegaskan, bahwa bahasa Al-Quran seluruhnya
bersifat filosofis, dengan pengertian tidak mudah dimengerti tanpa mencari,
menganalisis atau menggali sesuatu yang tersimpan dibalik bahasa harfiah.
Oleh karena itu
dibutuhkan pemikiran yang makin rasional dan logis sebagai media atau alat
untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap kandungan Al-Quran sebagai
cermin dari ajaran Islam. Teori-teori yang diformulasikan oleh ilmuwan-ilmuwan
Islam tidak banyak dipakai sebagai landasan dalam membahas masing-masing
disiplin ilmu karena masih kalah oleh teori barat. Bahkan yang paling berbahaya
secara intelektual adalah bahwa teori-teori barat telah dianggap baku dan
disakralkan karena tidak pernah digugat. Teori-teori pendidikan Islam yang
dirumuskan pemikir-pemikir Islam zaman dahulu juga menjadi sasaran pencermatan
kembali dengan menggunakan metode rasional. Seharusnya metode rasional telah
lama menjadi pegangan para filosof pendidikan Islam dalam merumuskan teori.
Namun, dalam kenyataan belum banyak ahli filsafat pendidikan Islam yang
memanfaatkan metode rasional ini.
Pendidikan Islam
selama ini secara sinis masih dianggap meniru pendidikan Barat. Jika
diperhatikan landasan pendidikan Islam itu berupa Quran dan Sunnah, dan
seharusnya tidak ada lagi peniruan. Mekanisme kerja metode rasional yang
kesekian kali dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam dilakukan dengan cara
mengembangkan objek pembahasan. Sebenarnya melalui metode rasional saja dapat
diperoleh khazanah pengetahuan pendidikan Islam dalam jumlah yang amat besar.
b.
Metode Intuitif (Manhaj
Zawqi)
Metode intuitif
merupakan metode yang khas bagi ilmuan yang menjadikan tradisi ilmiah Barat
sebagai landasan berfikir mengingat metode tersebut tidak pernah diperlukan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya dikalangan Muslim seakan-akan
ada kesepakatan untuk menyetujui intuisi sebagai satu metode yang sah dalam
mengembangkan pengetahuan, sehingga mereka telah terbiasa menggunakan metode
ini dalam menangkap pengembangan pengetahuan. Muhammad Iqbal menyebut
intuisi ini dengan peristilahan “cinta” atau kadang-kadang disebut pengalaman
kalbu.
Dalam pendidikan
Islam, pengetahuan intuitif ditempatkan pada posisi yang layak. Pendidikan
Islam sekarang menjadikan manusia sebagai objek material, sedang objek
formalnya adalah kemampuan manusia. Pendidikan Islam sebenarnya secara spesifik
terfokus untuk mempelajari kemampuan manusia itu, baik berdasarkan wahyu,
pemberdayaan akal maupun pengamatan langsung. Di kalangan pemikir Islam,
intuisi tidak hanya disederajatkan dengan akal maupun indera, tetapi bahkan
lebih diistimewakan daripada keduanya. Bagi Al-Gazhali, bahwa al-zawaq
(intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya, daripada akal untuk menangkap
pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber pengetahuan tersebut
dinamakan al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia
biasa berbentuk Ilham.
Sebagai suatu
metode epistemologi, intuisi itu bersifat netral. Artinya ia bisa
dimanfaatkan untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan. Hakekat intuisi
menurut Al-Tahawuny, bisa bertambah dan berkurang. Bila kita mengamati
pengalaman kita sehari-hari tampaknya ada perbedaan frekuensi intuisi muncul
dalam rentang waktu tertentu. Adakalanya dalam waktu yang berututan muncul
beberapa kali, tetapi terkadang dalam waktu yang lama juga tidak kunjung tiba.
Akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melihat pemahaman yang
kita sebut hati atau kalbu, yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Penggunaan
akal dan intuisi secara integral dapat memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap pengembangan metode-metode yang dipakai menggali pengetahuan. Metode
interpretasi misalnya, ia diyakini akan tumbuh dan berkembang melalui
pemanfaatkan metode-metode yang menggunakan akal dan intuisi. Intuisi itu bisa
didatangkan untuk memberikan pencerahan konsentrasi, kontemplasi, dan
imajinasi. Sebaiknya kita memiliki tradisi ketiganya ini dalam mengembangkan
atau menyusun konsep pendidikan Islam yang bisa dipertanggung jawabkan secara
ilmiah di hadapan kriteria ilmu pengetahuan dan secara normatif di hadapan
wahyu.
c.
Metode Dialogis (Manhaj
Jadali)
Metode dialogis yang dimaksudkan di sini
adalah upaya menggali pengetahaun pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya
tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua orang ahli atau lebih
berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan secara
ilmiah. Metode ini memiliki sandaran teologis yang
jelas. Upaya untuk mecari jawaban-jawaban adalah aktivitas yang baik menurut
Islam maupun ilmu pengetahuan. Peristiwa sebagai wujud dialog telah dikemukakan
dalam Al-Quran. Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan nalar kita untuk
memperolah jawaban-jawaban yang signifikan dalam mengembangkan pendidikan Islam
tersebut. Nalar itu akan memiliki daya analisis yang tajam manakala menghadapi
tantangan-tantangan. Ilmu pendidikan Islam harus bertumpu pada gagasan-gagasan
yang dialogis dengan pengalaman empiris yang terdiri atas fakta atau
informasi untuk diolah menjadi teori yang valid yang menjadi tempat
berpijaknya suatu pengetahuan ilmiah. Untuk menerapkan
metode ini, dapat disiapkan wadahnya dengan beberapa cara, misalnya dengan
menetapkan pasangan dialog, membentuk forum dialog, mempertemukan dua forum
dialog, maupun dengan mengundang pakar-pakar pendidikan Islam, apabila
difungsikan secara maksimal. wadah-wadah dialog itu hanya berbeda skalanya
saja, sedang misi dan fungsinya relative sama. Semuanya sebagai wadah untuk
menggali pengetahuan pendidikan Islam dari Al-Quran, hadits dan praktek-praktek
pendidikan Islam, kemudian dirumuskan dalam teori-teori ilmiah tentang
pendidikan Islam.
Metode dialogis dalam epistemologi
pendidikan Islam ini bisa mengambil bermacam-macam objek: ketentuan-ketentuan
wahyu, baik yang terdapat pada Al-Quran maupun hadits yang disebut dengan
konsep-konsep normatif, pendapat-pendapat para pakar
pendidikan Islam, baik pada masa lampau maupun sekarang yang disebut
konsep-konsep teoritis, dan pengamatan terhadap pengalaman-pengalaman melaksanakan
pendidikan bagi kaum Muslim, baik dahulu maupun sekarang yang bisa disebut
“konsep-konsep empiris”. Semua Objek itu ada dalam
bingkai keislaman karena Islam terbagi menjadi dua, yaitu Islam dalam arti
wahyu dan Islam dalam arti budaya. Islam wahyu berupa Al-Quran dan hadis sedang
Islam budaya berupa pemikiran, pengalaman, maupun tradisi umat Islam.
d.
Metode Komparatif (Manhaj
Maqaran)
Metode komparatif
adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan pendidikan
Islam, baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan Islam dengan pendidikan
lainnya). Metode ini ditempuh untuk mencari keunggulan-keunggulan maupun
memadukan pengertian atau pemahaman, supaya didapatkan ketegasan maksud dari
permasalahan pendidikan. Maka metode komparatif ini masih bisa dibedakan dengan
pendidikan perbandingan. Metode komparatif sebagai salah satu metode
epistemologi pendidikan Islam objek yang beragam untuk diperbandingkan, yaitu
meliputi: perbandingan sesama Ayat Al-Quran tentang pendidikan, antara
ayat-ayat pendidikan dengan hadits-hadits pendidikan, antara sesama hadits
pendidikan, antara sesama teori dari pemikir pendidikan, antara sesama teori
dari pakar pendidikan Islam dan non Islam, antara sesama lembaga pendidikan
Islam, antara sesama lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan non
Islam, antara sesama sejarah umat Islam dahulu dan sekarang.
e.
Metode Kritik (Manhaj
Naqdi)
Metode kritik yaitu sebagai usaha untuk
menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dgan cara mengoreksi
kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan
solusi sebagai altrnatif pemecahannya.
Jadi maksudnya kritik bukan karena adanya
kebencian, melainkan karena adanya kejanggalan-kejanggalan atau
kelemahan-kelemahan yang harus diluruskan. Sebenarnya kritik adalah metode kita
yang sudah ada sejak dulu dari ilmu kalam, fiqh, sejarah Islam maupun hadits. Namun sayangnya
sekarang jarang sekali kalangan Muslim yang berpijak pada metode kritik ketika
mengungkapkan gagasan-gagasannya.
Salah satau pemikir
muslim yang karya-karyanya bernuansa kritik adalah Muhammad Arkoun. Beliau
mengkritik bangunan epistemologi keilmuan agama Islam.
Sebenarnya kritik itu berkonotasi dalam
makna upaya membangun, tidak seperti yang kita pahami selama ini bahwa kritik
adalah penghinaan. Dan itu berakibat umat muslim merasa tidak suka
terhadap kritik. Dengan menggunakan metode kritik dapat mengkritik teori barat
yang tidak sepaham dengan nas-nas wahyu yang berkaitan dengan pendidikan Islam.[7]
C.
Aksiologi Filsafat Pendidikan Islam
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar
dan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai
teori nilai.
Landasan aksiologi
adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi
kebutuhan manusia berikut manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Dengan kata lain, apa
yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu dalam meningkatkan
kualitas hidup manusia.
Dalam bahasan lain,
tujuan keilmuan dan pendidikan Islam yang berusaha untuk mencapai kesejahteraan
manusia di dunia dan akhirat ini esuai dengan Maqasid al-Syariah yakni
tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Sementara menurut
Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai- nilai dan sasaran syara'
yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya.
Nilai- nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia
syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum.[8]
Kemudian Muzayyin Arifin
memberikan definisi aksiologi sebagai suatu pemikiran tentang masalah nilai-
nilai termasuk nilai tinggi dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai agama, dan
nilai keindahan (estetika).[9]
Jika aksiologi ini
dinilai dari sisi ilmuwan, maka aksiologi dapat diartikan sebagai
telaah tentang nilai - nilai yang
dipegang ilmuwan dalam memilih dan menentukan prioritas bidang penelitian ilmu
pengetahuan serta penerapan dan pemanfaatannya.[10]
Aksiologi
: Nilai kegunaan ilmu, penyelidikan tentang prinsip-prinsip nilai.
Macam-macam
nilai dalam aksiologi
Brameld
dalam Syom (1988) membagi nilai dalam aksiologi menjadi:
1. Moral conduct,
tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu Ethika.
2. Esthetic expression,
ekspresi keindahan, yang melahirkan Esthetika,.
3. Socio-polical life,
kehidupan sosio-politik, yang melahirkan ilmu filsofat sosio-politik.
Masalah-masalah
aksiologi di atas menjelaskan dengan kriteria atau prinsip tertentu, apakah
yang dianggap baik di dalam tingkah laku manusia itu, apakah yang dimaksud indah
dalam seni dan apakah yang benar dan diinginkan dalam organisasi social
kemasyarakatan-kenegaraan.
Implikasi
aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan mengintegrasikan nilai
tersebut dalam kehidupan manusia dan membinakannya dalam kepribadian anak
didik. Memang untuk menjelaskan apakah yang baik itu, benar, buruk dan jahat
bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, baik, benar, indah dan buruk, dalam arti
mendalam dimaksudkan untuk membina kepribadian ideal anak, jelas merupakan tugas
utama pendidikan.
Pendidikan
harus memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk dan sejenisnya
kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti dilihat dari segi etika,
estetika dan nilai sosial. Dalam masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan
saling berinteraksi. Nilai-nilai di dalam rumah tangga/keluarga, tetangga,
kota, negara adalah nilai-nilai yang tak mungkin diabaikan dunia pendidikan
bahkan sebaliknya harus mendapat perhatian..
[1] Mohammad Adib. Filsafat
Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 69
[3] Muhammad
Yusri. Ontopologi, Episteminologi dan Aksiologi Filsafat Pendidikan Islam.
[4]
Ahmad Syari’i. Filsafat
Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 123
[5]
Mohammad Adib. Loc.cit,hlm.74-75.
[7]
http://fitrianahadi.blogspot.com/2015/02/epistemologi-ilmu-pendidikan-islam.html.
diunduh pada Senin,16 Maret 2015/10.00
[8]
Ibid. Hlm. 79.
[9] Muzayyin Arifin.
Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 8
[10] Ilyas Supena. Desain
Ilmu -ilmu Keislaman: dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman. (Semarang:
Walisongo Press, 2008), hlm. 151.